Jakarta –
Reog Ponorogo adalah sebuah Kearifan Lokal yang tak hanya sebagai hiburan rakyat. Konon, Kearifan Lokal itu punya unsur magis yang kuat dan berawal sebagai sindiran Untuk Majapahit.
Para Manajer reog punya tugas masing-masing, mulai Bersama warok, barongan, dadak merak, jathil, sampai bujang ganong.
Tari ini identik Bersama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Lantas, bagaimana awal mula diciptakannya Karyaseni Kearifan Lokal ini? Di Bacaan Antologi Cerita Rakyat Jawa Timur yang disusun Balai Bahasa Surabaya 2011, Sumono Sandy menjelaskan asal-usul reog.
Sandy mengatakan reog sudah ada Sebelum zaman Majapahit. Kerajaan Majapahit sempat berjaya Di tangan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Akan Tetapi pelan-pelan, kerajaan ini Merasakan kemunduran.
Lunturnya kewibawaan dan kekuatan Kerajaan Majapahit makin dirasakan Di era Raja Bre Kertabumi, raja terakhir Majapahit. Ia tak mampu menjalankan roda pemerintahan seperti raja-raja Sebelumnya Itu Lantaran terlalu tunduk kepada permaisurinya yang cantik.
Para pembantu Bre Kertabumi merasa gelisah Lantaran keadaan Di Di istana Lebihterus kacau. Mereka khawatir tentang masa Di Kerajaan Majapahit. Akan Tetapi Lantaran kuasa sang raja yang terlalu besar, pembantunya tak dapat lagi memberi masukan.
Justru, saran Bersama penasihatnya pun tak lagi didengarkan. Bre Kertabumi lebih senang mendengar pendapat permaisurinya. Salah satu penasihat Bre Kertabumi, Ki Ageng Ketut Suryo Alam termasuk salah satu yang juga merasakan kegelisahan dan kekhawatiran tentang kelangsungan Kerajaan Majapahit.
Kekhawatirannya beralasan. Sebab, roda pemerintahan tidak lagi dikomandoi Bersama benar. Ia pun sudah Melakukanupaya menasihati sang raja agar tak terlalu mendengarkan permaisurinya. Akan Tetapi, Bre Kertabumi bergeming.
“Lantaran merasa kehadirannya sudah tidak ada gunanya, Ki Ageng Ketut Suryo Alam pun menyingkir Bersama lingkungan istana Kerajaan Majapahit,” jelas Sandy.
Ki Ageng Ketut Suryo Alam menganggap Prabu Bre Kertabumi sudah jauh Bersama tatanan moral kerajaan. Sandy meyakini penyimpangan moral inilah yang Setelahnya Itu menghancurkan Kerajaan Majapahit.
“Aturan politik Majapahit yang seharusnya dipegang sang raja, Di waktu itu nyatanya dikendalikan permaisurinya Supaya banyak keputusan dan kebijakannya yang tidak benar dan tidak sesuai tatanan peraturan kerajaan,” tutur Sandy.
Setelahnya angkat kaki Bersama istana, Ki Ageng Ketut Suryo Alam pergi Di Desa Kutu Di Daerah Wengker. Ia mendirikan sebuah padepokan olah kanuragan dan kesaktian, serta mengajari muridnya menjadi seorang prajurit yang bersifat ksatria dan gagah perkasa.
Prinsip yang diyakininya adalah prajurit harus taat kepada kerajaan dan punya kesaktian Untuk membela kerajaannya. Untuk dapat Memperoleh kesaktian, Ki Ageng Ketut Suryo Alam tak memperbolehkan muridnya berhubungan Bersama wanita.
Jika dilanggar, kehilangan kesaktian Berencana menjadi konsekuensinya. Didikan Ki Ageng Ketut Suryo Alam berhasil. Banyak muridnya yang menjadi seorang prajurit bersifat ksatria. Padepokannya juga menjadi populer dan dikenal Di berbagai Lokasi.
“Ki Ageng Ketut Suryo Alam Setelahnya Itu lebih dikenal Bersama nama Ki Ageng Kutu atau Ki Demang Kutu Lantaran padepokannya berada Di Desa Kutu,” ungkap Sandy.
Kendati sudah hengkang Bersama Di istana dan sibuk mengajar kanuragan, Ki Ageng Kutu tak pernah berhenti memikirkan Kepuasan Kerajaan Majapahit. Setiap malam Setelahnya mengajar murid-muridnya, ia Setelahnya Itu merenung dan berpikir Di tempat persembahyangannya.
“Menurut pikirannya, Kerajaan Majapahit harus diingatkan bukan lagi Bersama kata-kata dan nasihat. Karena Itu, ia terus memikirkan cara dan strategi Untuk melawan Kerajaan Majapahit yang dianggapnya telah jauh menyimpang Bersama tatanan keprajan itu,” kata Sandy.
“Menurutnya (Ki Ageng Kutu), perlawanan Bersama senjata dan peperangan tidak Berencana menyelesaikan masalah Lantaran hanya Berencana menimbulkan penderitaan Di kalangan rakyat. Di Di itu, Bersama segi kekuatan prajurit, murid-muridnya tentu Berencana mudah ditaklukkan Bersama bala tentara Majapahit yang jumlahnya jauh lebih banyak,” sambungnya.
Ki Ageng Kutu Setelahnya Itu memikirkan cara lain Untuk melawan Majapahit tanpa adu fisik tapi tetap tepat sasaran. Berhari-hari ia merenung dan berpikir, hingga muncul pikiran Untuk melakukan perlawanan secara psikologis berupa kritikan yang dilayangkan lewat Seni Kekayaan Budaya.
Bersama berbekal pengalamannya Di bertahun-tahun menjadi penasihat Di Kerajaan Majapahit, ia paham betul Kepuasan Di pemerintahan dan istana. Ditambah keahlian murid-muridnya, Ki Ageng Kutu akhirnya menciptakan drama tari yang disebut reog. Seni Kekayaan Budaya ini digunakan Untuk menggambarkan keadaan kerajaan Majapahit, menjadi sindiran atau satire sekaligus mempunyai makna simbolis.
Ki Ageng Kutu berperan sebagai tokoh warok. Di drama tari reog, warok dikelilingi murid-muridnya. Hal itu menggambarkan fungsi dan peranan sesepuh masih tetap diperlukan dan harus diperhatikan Di sebuah tata pemerintahan.
“Pelaku Di drama tari reog adalah singo barong yang mengenakan bulu merak Di atas kepalanya. Tokoh singo barong merupakan sindiran Pada kecongkakan, atau kesombongan sang raja yang tidak mau lagi mendengarkan nasihat Bersama para penasihat kerajaan,” ungkap Sandy.
Penari kuda atau jathilan yang diperankan seorang laki-laki yang lemah gemulai dan berdandan seperti wanita menggambarkan hilangnya sifat keprajuritan Kerajaan Majapahit. Para prajurit Kerajaan Majapahit Disorot sudah tidak berdaya.
Tarian penunggang kuda yang aneh menggambarkan ketidakjelasan peranan prajurit kerajaan, ketidakdisiplinan prajurit Pada rajanya. Akan Tetapi, raja Melakukanupaya mengembalikan kewibawaannya kepada rakyat yang digambarkan Bersama penari kuda yang berputar-putar mengelilingi sang raja.
________________
Baca artikel selengkapnya Di detikJatim
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Asal-usul Reog Ponorogo, Kuat Unsur Magis dan Sindiran Untuk Raja Majapahit