Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
DUA tindak pidana yang telah diterapkan berdasarkan undang-undang merupakan rangkaian Untuk strategi besar Upaya Mencegah dan pemberantasan kejahatan, khususnya kejahatan serius (serious crimes) yang berdampak luar biasa dan ancaman Di Perlindungan dan ketahanan suatu bangsa.
Kedua jenis tindak pidana tersebut merupakan residu dan the last resort of tools yang diharapkan dapat memulihkan kehidupan Kelompok menjadi lebih tertib, aman, dan tenteram serta bebas Untuk kekhawatiran dampak Untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat serius. Kedua jenis kejahatan serius ini Lebih Menjadi Wabah Ke Di dan Ke Untuk era Ilmu Pengetahuan siber yang Lebih Dunia dan lintas batas Bangsa.
Contoh data pencucian uang Ke Indonesia periode awal 2023 s/d 2024 Menunjukkan angka perputaran uang sebanyak Rp349 triliun, Akansegera tetapi terbanyak Ke Kementerian dan Lembaga Bangsa, bukan Ke orang perorangan atau kelompok selain ASN atau korporasi. Fakta sedemikian sangat memprihatinkan Lantaran sejauh Kementerian dan Lembaga Bangsa menjadi front terdepan mencegah dan memberantas kedua jenis kejahatan serius tersebut justru terlibat Ke dalamnya.
Pemerintah telah Berusaha mencegah dan menanganinya Bersama membentuk Satuan Tugas (Satgas), Akansegera tetapi tampaknya hanya bersifat proaktif dan spontanitas, bukan jangka panjang. Tidak beda halnya Bersama pembentukan Badan Siber dan Sandi Bangsa (BSSN) dan Satgas Pemberantasan Judi Online.
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ( TPPU ) merupakan rangkaian lanjutan proses Undang-Undang Tipikor dan RUU Perampasan Aset merupakan sarana terakhir (the last report) Untuk strategi besar (grand design) pemberantasan Kejahatan Keuangan. Tetapi demikian, desain besar strategi tersebut terhambat Bersama ketidakpahaman Aparat Penegak Hukum (APH) termasuk Komisi Pemberantasan Kejahatan Keuangan (KPK) Akansegera makna hubungan logis dan relasionis Di ketiga Undang-Undang aquo, Supaya strategi tersebut hancur berantakan dan Ke gilirannya tidak tercapai tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Aset hasil Kejahatan Keuangan pun sulit dilacak dan keburu dilarikan, aset ditempatkan Ke Bangsa lain (safe heaven country).
Memasuki pembahasan mengenai kedua jenis kejahatan dan kedua undang-undangnya, perlu diketahui substansi pengaturannya terutama mengenai pembuktiannya. Untuk hal pembuktian, keluarbiasaan kedua Undang-Undang TPPU dan RUU Perampasan Aset (RUU PA) menganut metode pembuktian terbalik (reversal of burden of proof). Masalah hukum kedua terpenting adalah keduanya menempatkan harta kekayaan hasil tindak pidana sebagai subjek dan ada sasaran utama pembuktian (in rem forfeiture) bukan pemilik harta kekayaan diduga Untuk tindak pidana orang pemilik harta kekayaan (in personal forfeiture).
Untuk Kontek Sini harus dimaknai bahwa masalah hukuman badan, bukan uang, diutamakan Justru hakim dapat mengesampingkannya tetapi perampasan aset pemiliknya. Implikasi metode pembuktian terbalik Di lain Ke Di jera Bagi siapa saja yang melakukan Kejahatan Keuangan dan tujuan keuntungan finasial yang ilegal, juga rentan penyalahgunaan wewenang dan Kartu Kuning Hakasasi Manusia jika tidak ada pengawasan Di lain Lewat lembaga praperadilan aset komisi pengawasan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Selain hal tersebut, masalah penting lainnya adalah bagaimana perlindungan hukum Di harta kekayaan rampasan? Untuk Kontek Sini perlu diatur Bersama memadai kepada lembaga Bangsa yang Akansegera menampung dan mengelolanya? Untuk Kontek Sini ada dua lembaga yaitu Kejaksaan sebagai eksekutor putusan-putusan Lembaga Proses Hukum dan Kementerian Keuangan sebagai pengelola harta kekayaan Bangsa sesuai Bersama Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Bangsa dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Bangsa.
(zik)
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Di Pencucian Uang dan Perampasan Aset