loading…
Perdana Wahyu Santosa, Profesor Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Kajian GREAT Institute, dan CEO SAN Scientific. Foto/Istimewa
Profesor Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Kajian GREAT Institute, dan CEO SAN Scientific
MENJELANGpenutupan tahun Dana 2025, Permasalahan shortfall penerimaan Pph kembali menguat—dan seperti biasa, muncul ide-ide “jalan pintas” yang menggoda. Salah satunya adalah wacana ijon Pph, yakni Merangsang (atau meminta) wajib Pph menyetor kewajiban tahun Didepan lebih awal Di tahun berjalan.
Definisinya sederhana, tetapi konsekuensinya bisa rumit, yaitu Didalam kredibilitas Keputusan, Standar data, hingga risiko “bolong” Di awal tahun berikutnya. Mengutip Didalam IKPI, DJP sendiri menegaskan tidak ada praktik ijon dan menekankan langkah-langkah intensifikasi yang sah Di koridor hukum.
Di bawah permukaan Perdebatan istilah ijon Pph, problem intinya sendiri adalah bagaimana pemerintah mengelola tekanan penerimaan tanpa menciptakan distorsi yang merusak fondasi fiskal jangka menengah.
Mengapa Shortfall Membesar: Siklus Ekonomi, Barang Dagangan, dan Administrasi
Data hingga 31 Oktober 2025 Menunjukkan penerimaan Pph neto Rp1.459,03 triliun—Di 70,2% Didalam outlook pemerintah. Ini menandakan “jarak Di garis finis” masih besar Bagi dikejar Di sisa waktu yang pendek, apalagi ketika beberapa pos utama justru terkontraksi: PPh Badan terkoreksi 9,6% (yoy) dan PPN/PPnBM terkoreksi 10,3% (yoy).
Sumber tekanannya campuran. Didalam sisi makro, moderasi harga Barang Dagangan Mengurangi basis penerimaan (dan PNBP), Sambil Itu perlambatan Karya juga menggerus PPN. Reuters juga mencatat Di awal 2025 penerimaan Pph sempat turun tajam, dipengaruhi moderasi harga Barang Dagangan serta perubahan administratif pemungutan, dan ada keluhan disrupsi akibat upgrade sistem perpajakan yang bermasalah.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Solusi Cepat atau Ilusi Berisiko Bagi APBN?











